SOENDA KETJIL DAHULU KALA INDONESIA DINAMAKAN SUNDA Pada waktu belajar geografi (ilmu bumi) kita menemui sebutan Sunda Besar (Greater Sunda) dan Sunda Kecil (Lesser Sunda). Sunda Besar meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Gabungan dari keduanya di zaman dahulu bahkan dinamakan kepulauan Sunda (Sunda Islands). Mungkin pernah tebersit dalam otak kita mengapa di zaman beheula Indonesia dinamakan Sunda. Menurut penelitian sejarah, kata ‘sunda’ ini sudah dipakai oleh pakar ilmu bumi Ptolemeus pada tahun 150 mengacu pada tiga pulau besar yang terletak di timur India. Kata ‘sunda’ ini berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ‘bersinar, terang, putih’. Istilah inilah yang kemudian dipakai secara luas oleh pakar ilmu bumi dan kartografer (pembuat atlas) Eropa untuk merujuk pada kawasan yang pada zaman sekarang ini merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Sudah barang tentu tak persis sekali, misalnya Molucca (Maluku) dan Papua tidak termasuk di dalamnya dan dianggap sebagai entitas tersendiri. Pada atlas yang dibuat oleh Giacomo de Rossi pada tahun 1683, kawasan nusantara ini disebut dengan ’Isole della Sonda’ (kepulauan Sunda). Ada juga peta kuno yang terbuat dari perunggu yang digrafir (engraved copper) tahun 1719 buatan Jerman yang dinamakan ’Die Inseln von Sonte’ (perhatikan cara mengeja orang Barat yang menuliskannya dengan ’sonda’ atau ’sonte’). Bahkan saya menemukan juga gambar ’penduduk Indonesia’ menurut versi mereka pada tahun 1719 itu yang diberi judul ’Habitans des Isles dela Sonde’ (penduduk kepulauan Sunda). EKSISTENSI PEMERINTAHAN SOENDA KETJIL. DALAM GEMA REVOLUSI NASIONAL 1945 - 1946. Pendaratan awak kapal Belanda Abraham Grijns telah mengakibatkan insiden bendera di Pelabuhan Buleleng pada 27 Oktober 1945 yang menewaskan I Ketut Merta, seorang pemuda dari Singaraja. BKR kemudian diubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakjat ( TKR ) dengan komando sentral Soenda Ketjil di bawah komandan I Gusti Ngurah Rai pada 1 Nopember 1945. Tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Benoa pada 18 Februari 1946. Kedatangan mereka untuk memindahkan tawanan perang dan kaum interniran Sekutu, melucuti militer Jepang dan untuk memulihkan keamanan. Oleh pemerintah RI di Soenda Ketjil kehadiran mereka disambut baik dan dijelaskan bahwa di Soenda Ketjil telah berjalan pemerintahan RI yang dipimpin oleh Gubernur Mr. Pudja. Suasana berubah ketika awak kapal Gajah Merah yang terdiri dari personil pemerintah sipil Hindia Belanda ( Nederlands Civil Administration: NICA) di bawah pimpinan Letkol. Inf. F.H. Ter Meulen mendarat di pantai Sanur pada 2 Maret 1946. Mereka menggantikan tugas tentara Sekutu. Tentara NICA segera menduduki kota Denpasar. Keesokan harinya menduduki kota Gianyar yaitu pada 3 Maret 1946, Singaraja pada 5 Maret 1946 dan Negara pada 19 Maret 1946. Ketika mereka tiba di Singaraja, ibukota Propinsi Soenda Ketjil, mereka menamakan diri Pembesar AMACAB. Mereka ingin bertemu dengan pembesar-pembesar Pemerintah Nasional setempat yaitu Gubernur dan stafnya. Perundingan terfokus pada pembebasan tawanan Sekutu dan melucuti senjata militer Jepang serta sama sekali tidak menyinggung masalah-masalah politik pemerintahan. Setelah terjadi dialog antra pembesar - pembesar NICA dan RI,dan pemerintahan Soenda Ketjil sebagai bagian negara RI Proklamasi, ternyata tiba-tiba rumah kediaman Gubernur digrebek pada 11 Maret 1946. Gubernur Puja, Ketua KND I.B. Putra Manuaba dan Kepala jawatan Pajak Gusti Nyoman Mas Wiryasutha diangkut ke dalam jip militer, lalu dibawa ke Denpasar. Mereka ditangkap dan ditahan di Denpasar. Alasan penahanan karena ketertiban dan keamanan tidak tetjamin di Soenda Ketjil. Pemerintahan sipil dianggap tidak mampu mengendalikan situasi yang tidak aman, padahal NICA secara sengaja melumpuhkannya dengan terlebih dahulu mendekati raja-raja di Bali yang mau bekerja sama. Dalam situasi kondisi yang telah dilumpuhkan itu, rombongan I Gusti Ngurah Rai kembali dari Jawa dan mendarat di Yeh Kuning, Jembrana pada 4 April 1946. I Gusti Ngurah Rai kembali dari Jawa sebagai Komandan Tentara Republik Indonesia ( TRI ) Resimen Soenda Ketjil, dengan pangkat Letnan Kolonel. Sampai di Munduk Malang, Tabanan, I Gusti Ngurah Rai memimpin pertemuan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya untuk menyusun kekuatan mempertahankan pemerintahan Soenda Ketjil. Dalam pertemuan itu diputuskan untukmengadakan reorganisasi perjuangan dengan mempersatukan seluruh organisasi perjuangan yang ada di Soenda Ketjil dengan nama Dewan pimpinan Rakyat Indonesia ( DPRI ) yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. DPRI adalah penggabungan dari PRI dan PESINDO di satu pihak dan TRI Soenda Ketjil di pihak lain. DPRI Soenda Ketjil adalah kesatuan ( resimen ) di bawah komando Markas Besar Umum ( MBU ). MBU membawahi Markas besar ( MB ) yang dibentuk di tiap-tiap daerah kerajaan menjadi komando lokal untuk menerima instruksi dari MBU di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Kesatuan militer pemerintahan Soenda Ketjil mewarnai perjuangan untukmempertahankan negara RI Proklamasi. Perjuangan mereka ditandai dengan peperangan selama berbulan-bulan ( April- November 1946 ), bergerilya, long march ke Gunung Agung. Perjuangan militer memuncak pada waktu meletusnya perang ” Puputan Margarana ”,Tabanan 20 November 1946. Meskipun pucuk pimpinan I Gusti Ngurah Rai bersama-sama puluhan pengikutnya gugur pada perang puputan itu, tetapi para pejuang lainnya yang masih hidup : Widjakusuma, Widjana, I.B. Tantera, Gusti Ngurah Mataram, I.B. tamu, Anang Ramli, Nengah Tamu ( Tjilik ), Subroto A.M., Nyoman Mantik, Nengah Pantjer, I. B. Kalem, Bayupati, Kompiang Sudjana dan lain-lainnya kemudian melamjutkan perjuangan bangsa Indonesia di Soenda Ketjil. DPRI melanjutkan perjuangannya di bawah pimpinan Widjakusuma meskipun wilayah Soenda Ketjil dibawah bayang-bayang kekuasaan Negara Indonesia Timur yang dilahirkan berdasarkan hasil Konprensi Denpasa pada 24 Desember 1946. RAPAT KOORDINASI PIMPINAN OPD KABUPATEN BULELENG TERKAIT REVITALISASI MUSEUM SOENDA KETJIL Pada tanggal 7 Agustus kemarin Dinas Kebudayaan mengadakan rapat koordinasi pimpinan OPD Kabupaten Buleleng diantaranya Bappeda, Perkimta, BKD dan Dinas Pariwisata terkait revitalisasi Museum Soenda Ketjil. Rapat di hadiri oleh Kepala Bappeda Kabupaten Buleleng, Kepala Dinas Perumahan, Permukiman, Dan Pertanahan Kabupaten Buleleng, Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Buleleng, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng, Sekdis Dinas Kebudayaan, Kasi Sejarah dan Permuseuman dan Kasi Cagar Budaya. Adapun yang di bahas dalam rapat tersebut adalah kaitannya dengan Bantuan Revitalisasi Museum Sunda Ketjil dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik indonesia sesuai dengan surat undangan yang telah di sampaikan kepada Bapak Kepala Dinas Kebudayaan. Dari hasil rapat di maksud menghasilkan Keputusan sbb: 1. Pihak Pemkab menerima bantuan yang di programkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebesar 500.000.000 yang menurut rencana akan di realisasi pada Bulan september tahun 2017. 2. Dimohon dari pihak kemendikbud untuk membuat berita acara serah terima aset yang akan di Revitalisasi sebagai Museum Soenda Ketjil untuk mempermudah administrasi dan jika proses Revitalisasi terlaksana untuk di kembalikan lagi ke Pemkab Buleleng. 3. Memohon kepada Kementrian Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia tentang keberadaan bantuan di maksud apakah berbentuk Hibah atau yang lainnya. Hal ini di maksudkan untuk memperjelas realisasi bantuan tersebut. EKS PELABUHAN BULELENG Sejarah perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dibedakan kedalam tiga tahap, yakni: jaman kerajaan, jaman kolonial, dan jaman kemerdekaan. Pada jaman kerajaan kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam konsep tata ruang tradisional Bali, kawasan pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista (kotor). Kawasan ini baru mulai ada permukiman pada abad ke 17 ketika pelaut bugis dari Makasar datang ke kawasan ini. Hubungan yang baik dengan kerajaan buleleng dan penduduk pribumi membuat orang-orang bugis tersebut diberikan lahan bermukim di daerah pantai utara Buleleng yang sekarang menjadi Pelabuhan Buleleng. Selain menjadi nelayan, keberadaan masyarakat Bugis di kawasan ini dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai armada laut karena keahlian mereka di laut. Pada tahun 1846 pemerintah Hindia Belanda menguasai daerah Bali dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Sebagai kota pusat pemerintahan maka dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan utama pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan dari jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng yaitu dengan mengubah aksis kota yang berpusat pada catus patha (pempatan agung) menjadi ke kantor pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan dari aksis kota yag baru ini memudahkan pemerintah Hinda Belanda dari Kantor pemerintahannya untuk dapat memantau (meneropong) aktifitas di pelabuhan. Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan seperti: dermaga, gudang, terminal, kantor pabean dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan nelayan bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai kawasan pegudangan untuk distribusi barang. Aktifitas yang ramai pada Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan disekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan. Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual-beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian besar dimiliki oleh kaum dari etnis Cina, yang memang terkenal sebagai bangsa pedagang. Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini. Sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui pelabuhan ini. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat pelabuhan sebagai penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda Kecil seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di daerah ini tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut kemudian dengan mengunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga. Berdasarkan catatan sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali pada tahun 1920 masuk melalui pintu utama yakni Pelabuhan Buleleng ini. Dari sinilah para wisatawan mulai melakukan perjalanan di kawasan Bali, jika. Ketertarikan wisatawan akan budaya dan keindahan alam Pulau Bali membuat aktifitas pelabuhan tidak hanya di dominasi oleh perdangan semata. Pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan pertama di Bali layak ditempatkan sebagai monumen pariwisata yang paling penting, pengingat pelabuhan ini selalu muncul daam setiap catatan sejarah pariwisata Bali (Suardana, 2005). Daya tarik dari kawasan ini sesungguhnya telah ada sejak tahun 1811, jauh sebelum Hindia Belanda menguasai daerah ini. Pada saat itu Sir Stamford Raffles seorang berkebangsaan Inggris telah jatuh cinta terhadap Bali, baik alam dan budaya dari pulau kecil nan eksotik ini. Setelah beliau datang, maka timbul gagasan untuk membangun kota pelabuhan dengan Raja Buleleng I Gusti Gde Karang dengan nama Singapura. Adanya pertentangan paham antara Raja dan Raffles membuat rencana ini urung terlaksana. Akhirnya Raffles menuju ke daerah lain dan mewujudkan rencana kota pelabuhannya di daerah tersebut sekarang bernama Singapura. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan kawasan ini menjadi kawasan perang antara pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak Belanda membuat kawasan ini dipertahankan oleh pihak belanda. Pertempuran besar pun terjadi pada tanggal 27 agustus 1945, untuk mengenang peristiwa tersebut maka dibuatlah monumen perjuangan dan tugu prasasti di kawasan ini. Pada masa kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini pelabuhan ini menjadi pusat distribusi barang dari Bali ke NTT dan NTB, danbegitu sebaliknya. Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan berpindahnya pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar. Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung di kawasan ini, dan membuat kawasan Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak berfungsi sehingga saat ini diberinama Eks Pelabuhan Buleleng, sebuah pelabuhan Kolonial yang kini tidak berfungsi. Keterpurukan dari kawasan ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini sudah tidak berfungsi adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan kebersihan membuat kawasan ini dijuluki sebagai Pelabuhan Sampah (wawancara dengan Kadis kebudayaan dan pariwisata Kab. Buleleng, 2010). Pelabuhan ini berada di sebelah sebelah muara Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendah di daerah pelabuhan. Bangunan peninggalan kolonial di kawasan ini diabaikan sehingga rapuh dan rusak dimakan usia, yang menyebabkan menurunnya citra kawasan ini. Pada tahun 1980-an Bupati Buleleng mencanangkan program revitalisasi kawasan pelabuhan ini. Sejak saat itu pelabuhan ini mulai mendapat perhatian serius. Kawasan direncanakan sebagai kawasan pariwisata Kabupaten Buleleng. Program ini cukup lama terlaksana, dan pada akhirnya tahun 2002 baru terlaksana beberapa program yaitu perbaikan tepian pantai agar lebih kuat terhadap abrasi dan pembuatan restoran apung yang memanfaatkan dermaga pelabuhan. Pengembangan terbaru kawasan ini dilaksanakan pada tahun 2010. Namun sangat disayangkan pengembangan ini berujung pada pembongkaran bangunan pergudangan yang merupakan bangunan tua bersejarah di kawasan ini. Hanya satu bangunan tua kolonial di kawasan ini yaitu bekas kantor pabean belanda. Sejak dicanangkan sebagai objek pariwisata yang selain menawarkan keindahan laut juga nilai sejarah, kawasan ini telah banyak mengalami perubahan. Tuntutan fasilitas baru pada kawasan ini berujung pada penghancuran bangunan tua. Pengembangan pariwisata di kawasan ini justru menghilangkan objek fisik berupa pergudangan yang mencerminkan sejarah pelabuhan kolonial di kawasan ini. Melihat perkembangan yang terjadi ini diperlukan adanya kegiatan konservasi yang terintegrasi, sehingga artefak-artefak bersejarah dapat terus dipertahankan dan menjadi bagian dari karakter Pelabuhan Buleleng sebagai satu-satunya Pelabuhan Kolonial di Bali. Semenjak berhentinya aktifitas pelabuhan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi menurun sehingga diperlukan tindakan konservasi yang mampu meningkatkan kehidupan masyarakat lokal di kawasan.
sumber: Dinas Kebudayaan Buleleng