MENGOLAH
SAMPAH ORGANIK MENJADI KOMPOS DI RUMAH
BERSAMA
BANK SAMPAH HIJAU DAUN DISPERKIMTA
Putu Desta
Sativana
Sampah organik sebagai bagian dari sampah rumah
tangga membutuhkan pengelolaan yang tepat agar tidak berdampak negatif
terhadap masyarakat dan lingkungan. Pengelolaan sampah organik yang
tepat akan memberikan manfaat untuk masyarakat dan lingkungan. Bupati Buleleng (2019) menyatakan bahwa sampah organik (degradable) adalah
sampah yang bisa mengalami pelapukan (dekomposisi) dan terurai menjadi bahan
yang lebih kecil dan tidak berbau.
Menurut Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng (2019) bahwa sampah organik dapat
digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai berikut.
1.
Sampah
Organik Basah
Sampah
organik basah adalah sampah organik yang banyak mengandung air, contohnya sisa
sayur, kulit buah, buah busuk dan ampas teh/kopi.
2.
Sampah
Organik Kering
Sampah
organik kering adalah sampah organik yang sedikit mengandung air, contohnya
kayu, ranting pohon dan daun-daun kering.
Sampah organik basah yang mengandung banyak air akan lebih
berbau daripada sampah organik kering. Selain itu, sampah organik basah yang
mengandung banyak air akan lebih banyak memiliki mikroorganisme daripada sampah
organik kering. Sehingga sampah organik basah cenderung lebih cepat terurai
dibandingkan dengan sampah organik kering. Tetapi, sampah organik basah dan
sampah organik kering dapat diolah menjadi kompos.
A.
Definisi
Kompos
Kompos adalah senyawa organik yang telah terurai dan
didaur ulang sebagai pupuk dan dapat berperan sebagai agen yang mampu mengubah
fisio-kimia tanah. Kompos berasal dari kumpulan senyawa organik yang telah
membusuk, misalnya sampah rumah tangga, padi dan berbagai macam sampah
agrikultur lain (Direktorat
Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2021).
Pupuk kompos adalah pupuk yang
dihasilkan dari pelapukan bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan
organisme pengurai. Organisme pengurai atau dekomposer bisa berupa
mikroorganisme ataupun makroorganisme. Mikroorganisme dekomposer bisa
berupa bakteri atau jamur. Sedangkan makroorganisme dekomposer yang
paling populer adalah cacing tanah. Berbagai varian dekomposer beserta metode
pembuatannya banyak ditemukan. Sehingga pupuk kompos yang dihasilkan banyak
ragamnya, misalnya pupuk bokashi, vermikompos, pupuk organik cair dan pupuk
organik tablet. Pupuk kompos bisa dibuat dengan mudah, bisa dibuat sendiri dari
limbah rumah tangga, seperti pupuk bokashi (Ayu, 2014).
B.
Kandungan
Unsur Hara Kompos
Kandungan unsur hara didalam kompos cukup lengkap,
meliputi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan unsur hara mikro
(Fe, Cu, Mn, Mo, Zn, Cl, B) yang sangat diperlukan tanaman. Namun kandungan
unsur hara tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan unsur hara
tertentu yang terdapat pada pupuk kimia buatan. Oleh karena itu, aplikasi
kompos biasanya diperlukan dalam jumlah yang banyak. Selain kandungan unsur
hara, keunggulan lain kompos adalah kandungan senyawa organik, seperti asam
humat dan asam sulfat yang bermanfaat untuk memacu pertumbuhan tanaman
(Soedarmanto, 2019).
Menurut Yudi (2019) bahwa unsur hara dapat dibagi menjadi
tiga golongan yaitu sebagai berikut.
1.
Unsur
hara makro primer
adalah unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti: Nitrogen (N),
Pospor (P) dan Kalium (K).
2.
Unsur
hara makro sekunder
adalah unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah kecil seperti: Belerang (S), Kalsium
(Ca) dan Magnesium (Mg).
3.
Unsur
hara mikro adalah
unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit seperti: Besi (Fe), Tembaga
(Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo).
C.
Manfaat
Kompos
Menurut Yudi (2019) bahwa manfaat kompos dapat ditinjau dari
beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek
bagi tanah/tanaman sebagai berikut.
1.
Aspek
Ekonomi
a.
Menghemat
biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah;
b.
Mengurangi
volume/ukuran limbah;
c.
Memiliki
nilai jual yang lebih tinggi dari pada asalnya.
2.
Aspek
Lingkungan
a.
Mengurangi
polusi udara karena pembakaran limbah;
b.
Mengurangi
kebutuhan lahan untuk penimbunan.
3.
Aspek
Bagi Tanah/Tanaman
a.
Meningkatkan
kesuburan tanah;
b.
Memperbaiki
struktur dan karakteristik tanah;
c.
Meningkatkan
kapasitas serap air tanah;
d.
Meningkatkan
aktivitas mikroba tanah;
e.
Meningkatkan
kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi dan jumlah panen);
f.
Menyediakan
hormon dan vitamin bagi tanaman;
g.
Menekan
pertumbuhan/serangan penyakit tanaman;
h.
Meningkatkan
retensi/ketersediaan hara didalam tanah;
i.
Meningkatkan
pH pada tanah asam.
D.
Fase
Kompos
Selama proses pengomposan, temperatur, pH dan ketersediaan
nutrient akan selalu mengalami perubahan secara konstan, sehingga faktor-faktor
tersebut akan mempengaruhi tipe mikroorganisme, diversitas spesies dan laju
aktivitas metabolit. Degradasi material limbah pada kompos mengalami tiga fase yaitu
sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2021).
1.
Fase
Mesofilik
Tahap
inisiasi penguraian dan berlangsung selama satu minggu atau kurang dari 10 hari
dengan temperatur suhu berkisar antara 15 - 45°C dimana gula dan karbohidrat
sederhana lainnya dimetabolisme secara cepat.
2.
Fase
Termofilik
Tahap
kedua yang berlangsung selama dua minggu dengan peningkatan temperatur suhu menjadi
50 - 75°C yang diiringi dengan akselerasi pemecahan protein, lemak dan
karbohidrat kompleks.
3.
Fase
Pendinginan dan Maturasi
Pada
fase pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroorganisme sampai 50% tetapi
diversitas taksonomi dan metabolitnya akan meningkat, sedangkan pada fase maturasi
terjadi degradasi senyawa resistan dan mengubahnya menjadi humus.
E.
Metode
Pembuatan Kompos
1.
Metode
Indore
-
Sampah
organik disebar merata dengan lapisan setebal 10 – 15 cm di lubang yang digali
dengan kedalaman 1 m, lebar 1,5 - 2 m dan panjang disesuaikan;
-
Limbah
kering dengan kotoran ternak dan tanah ditambahkan dengan perbandingan 4 : 2 :
1 dalam lubang pengomposan;
-
Pada
setiap lapisan disebarkan cairan bubur yang terbuat dari 4,5 kg kotoran, 3,5 kg
urine-tanah dan 4,5 kg inokulum yang diambil dari lubang pengomposan berumur 15
hari;
-
Untuk
menghindari bau dan serangga maka tumpukan lapisan dapat ditutup dengan lapisan
tanah atau serpihan kayu;
-
Untuk
memastikan kondisi aerobik tetap terjaga maka dilakukan pembalikan pada
interval waktu tertentu yaitu pertama dapat dilakukan pada hari ke 15 setelah
pengisian, kedua setelah 15 hari, dan ketiga setelah 1 bulan;
-
Gundukan
dibiarkan tidak terganggu selama sekitar 8 hingga 9 bulan dengan tingkat
kelembaban sekitar 40 – 50%.
2.
Metode
Heap
-
Di
daerah dengan curah hujan tinggi, kompos dapat dibuat tumpukan di atas
permukaan tanah dan dilindungi peneduh dengan tiang pancang dibuat dengan
dimensi 2m x 2m x 1,5m (P x L x T);
-
Tumpukan
diawali dengan lapisan setebal 20 cm dari material berkarbon seperti daun,
jerami, serbuk gergaji, serpihan kayu dan batang jagung cincang, selanjutnya
ditutup dengan material bernitrogen setebal 10 cm seperti rumput segar, gulma
atau sisa tanaman kebun, kotoran atau lumpur kotoran yang dicerna (segar atau
kering) sampai tumpukan setinggi 1,5m dan dibasahi sehingga terasa lembap
tetapi tidak becek;
-
Untuk
menahan panas maka tumpukan ditutup tanah atau jerami dan dibalikkan dengan
interval enam dan dua belas minggu;
-
Proses
ini membutuhkan waktu sekitar empat bulan.
3.
Vermikompos
-
Vermikompos
adalah metode dimana kompos atau campuran pupuk organik dibuat dengan
menggunakan cacing tanah;
-
Ini
merupakan proses degradasi terkontrol dari limbah organik yang langsung
dikonsumsi cacing tanah sehingga membantu dalam daur ulang limbah organik;
-
Untuk
menyiapkan vermikompos dapat digunakan tangki plastik atau beton sesuai
ketersediaan (ukuran berdasarkan jumlah bahan baku yang tersedia);
-
Kumpulkan
biomassa kering (sampah taman, kotoran hewan, sampah kota dan lain-lain) dan
potong-potong
serta campur dengan kotoran sapi dengan perbandingan 1 : 3 dan sisihkan selama 15
- 20 hari untuk dekomposisi parsial;
-
Tambahkan
lapisan tipis tanah/pasir (2 - 3 inci) di dasar tangki dan tambahkan alas dengan
kotoran sapi yang sudah membusuk sebagian dan campuran sampah kering;